Selasa, 04 April 2017

Onje, Pesona di Belantara Lereng Gunung Ungaran

Hallo semuanya...
Bagaimana kabar hari ini? Sehat? Sakit? Bahagia? Sedih? Bete? Baper? Laper? Apapun masalahnya, lebih baik ikuti petualangan saya kali ini menjelajah lereng Gunung Ungaran bagian Temanggung ☺

Curug Onje
Sebuah air terjun yang terletak di Desa Durenan, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung. Bisa dicapai melalui jalur Ambarawa-Temanggung, atau via Gunung Pati-Boja-Temanggung. Saya memilih jalur yang terakhir, via Gunung Pati karena saya janjian dengan teman yang rumahnya Semarang. Kasihan kalau harus menjemput saya dulu ke Salatiga, baru ke Temanggung, karena letaknya berbatasan dengan Boja. Jadi saya pikir lebih cepat lewat jalur kedua via Gn. Pati-Boja. 

Perjalanan dimulai pukul 11 siang. Cukup siang untuk berangkat ke air terjun yang belum diketahui pasti lokasinya, apalagi di musim hujan. Takut kesorean, atau takut banjir pas di air terjun. Tapi itu tidak menyurutkan antusias kami untuk mendatangi lokasi (kelihatannya antusias saya tog deh, bukan kami, karena saya merasa teman saya ikut antusias gara-gara saya antusias, hahahahahha). 

Sekitar pukul 11.45 kami sudah memasuki kawasan Temanggung. Berbekal petunjuk dari google map, kami melanjutkan perjalanan sesuai arahan si peta dari google. Jalan berkelok, berbukit, berbatu, berkerikil, berlubang kami tempuh. Cukup panjang kami tempuh jalan yang rusak tersebut, sampai akhirnya kami sampai di titik terakhir yang ditunjuk si peta. Tapi kenyataan berkata lain.. jalan aspalnya habis, mentok di persawahan. Lhoooo... Kebingungan, kami mencoba bertanya pada penduduk yang kebetulan melintas dari sawah. Mereka bilang memang bisa ke Onje lewat jalur kami ini, tapi harus jalan kaki yang cukup jauuuuhh, dan mereka menyarankan kami berputar arah. 

Kami pun menuruti saran mereka berputar arah. Kami berjalan cukup jauh dari titik kami berputar tadi, dan kembali bertanya pada serombongan pemuda yang baru selesai dari gereja. Mereka kaget karena kami bisa mengetahui keberadaan Curug Onje yang notabene menurut mereka masih sangat terpelosok dan belum banyak dikenal publik. Kami jelaskan bahwa kami menemukan infonya dari sebuah web di internet. Setelah mendengar jawaban saya, mereka menggambarkan sebuah peta sederhana (yang mereka gambar dengan sedikit kebingungan). Berbekal peta tersebut, perjalanan kami mencari si Onje pun berlanjut. 
Peta yang lebih akurat daripada google map
Setelah beberapa kali bertanya, kami akhirnya sampai di Desa Durenan tempat si Onje berada. Kami kembali bertanya kepada penduduk sekitar tentang keberadaan si Onje tersebut. Setelah mendapatkan informasi, kami pun melanjutkan perjalanan sesuai arahan penduduk. Kami sampai di sebuah jalan tanah kecil, yang lebih mirip jalan ke ladang daripada jalan penduduk. Agak ragu dengan penampakannya, tapi kami tetap melalui jalan tersebut. Beberapa penduduk yang berpapasan dengan kami menyarankan untuk memarkir kendaraan di dekat tikungan jalan tanah yang menuju ke curug karena menurut mereka jalan ke sana licin, dan akan menjadi becek saat hujan yang akan menyulitkan kami saat kembali nanti. Tapi teman saya nekat membawa motornya melewati jalan itu. Dan memang agak susah dilalui kendaraan karena kondisi tanah yang lembek, dan akan jadi becek dan licin jika hujan turun, yang akan membuatnya sulit dilalui kendaraan. 

Medan ke Onje
Kami melihat beberapa motor diparkir sebelum mencapai tanah lembek tersebut. Agaknya mereka tidak mau mengambil resiko terjebak becek jika hujan benar-benar turun, mengingat memang sedang musim hujan. Namun, karena berpapasan dengan motor yang datang dari arah curug, teman saya tetap nekat membawa motornya sampai titik terakhir kami dapat motoran. Dan, akhirnya kami harus memarkir motor di kebun warga karena jalan menuju ke curug berubah menjadi jalan setapak. 

Kami menyusuri jalan setapak kira-kira setengah jam perjalanan jauhnya. Hanya bertemu beberapa orang di awal menyusuri jalan setapak membuat saya sedikit was-was dan excited. Was-was karena berarti nanti hanya ada kami berdua di belantara hutan, dan excited karena memang saya lebih suka tempat yang masih asri dan belum banyak pengunjungnya. 

Sepanjang perjalanan, benar-benar terasa suasana yang masih alami. Kadang sayup terdengar suara monyet dan burung hutan di kejauhan, membuat saya semakin antusias untuk segera sampai di curug. Sayup terdengar suara air mengalir. Dan tak lama, kami menemukan jalan bercabang. Kami memutuskan untuk mengambil jalan ke kiri, yang akhirnya membawa kami ke air terjun, yang ternyata bertingkat dua. Kemudia saya menyimpulkan bahwa jalan yang ke kanan tadi berarti menuju air terjun di atas. Kami memutuskan untuk bermain sebentar di air terjun bawah sebelum naik ke atas. 
Curug Onje, 2 tingkat
Aliran airnya tak begitu deras, tapi sungainya cukup lebar dengan dasar air berupa batu rata yang dan kedalaman air hanya sebatas mata kaki orang dewasa.

Belum banyak pengunjung

Tapi saya sangat takjub dengan itu semua, juga dinding batu tempat air turun dari atas yang memberikan kesan tersendiri. Kokoh, misterius, indah, penuh pesona.. entahlah.. pokoknya menarik lah. Tak bisa digambarkan dengan kata-kata. 

Karena aliran air tidak begitu deras, dan air yang jatuh dari atas tebing juga tidak besar maka saya bisa bebas bermain di bawah guyuran air yang terjun bebas dari atas.



Setelah puas bermain di sisi bawah air terjun, saya dan teman saya memutuskan untuk beranjak ke air terjun di sisi atas. Tak beda jauh dengan air terjun di bawah, di sinipun tidak ada kolam tampungan jatuhnya air yang memungkinkan kita untuk berenang. Dasar air berbatu datar, dan kedalaman hanya sampai mata kaki orang dewasa, sama dengan kondisi dasar air sisi bawah air terjun. Hanya saja, lebar sungai di bagian atas tidak selebar dan seluas di sisi bawah.

Kami putuskan bermain-main sebentar di sini. Kekaguman saya terhadap air terjun di atas ini pun tak berbeda dengan kekaguman saya pada penampakan air terjun di bawah. Waooowww... dengan segala kekaguman saya. Meski debit air tak terlalu besar, tapi ada pesona tersendiri dari gugusan tebing tempat air mengalir. Pola berundak dari bebatuan dan bentuk aliran air yang melebar yang beda dari air terjun kebanyakan benar-benar membuat saya tak berhenti terkagum.
Bisa naik ke tengah, tapi hati-hati licin yaaa...
Sebenarnya belum puas bermain air dan menikmati ciptaan Tuhan yang begitu luar biasa ini. Namun, mengingat hari sudah sore dan takut terjebak di hutan dalam keadaan hujan, teman saya mengajak saya untuk menyudahi petualangan kali ini. Dan, dengan berat hati kami beranjak meninggalkan air terjun atas ini, kembali ke air terjun bawah untuk mengambil barang bawaan yang memang senngaja kami tinggal di bawah karena takut mengganggu saat mendaki ke air terjun atas.

Sebenarnya, di bawah air terjun bawah masih ada satu lagi tingkat  air terjun, hanya saja kami tak melihat adanya jalur menuju ke sana, mungkin tertutup longsor yang kami lihat tak jauh dari lokasi air terjun tengah tempat kami pertama kali sampai. Meski amat sangat takut ketinggian, saya mencoba mengintip dari atas kedalaman air terjun satu lagi (sebut saja air terjun ketiga) tersebut. Sambil dipegangi teman saya, saya mulai menilik ketinggiannya. Kelihatannya lebih tinggi dari kedua air terjun sebelumnya.

Karena tak menemukan jalan ke bawah, kami memutuskan segera pulang. Di tengah jalan kami berpapasan dengan penduduk yang pulang dari mencari kayu bakar. Setelah bertegur sapa, saya iseng bertanya soal air terjun ketiga yang kami lihat namun tak kami temui akses ke sana. Benar saja, menurut warga tersebut, memang sebenarnya air terjun ketiga itu bisa didatangi. Namun mungkin jalannya hilang karena longsor belum lama ini.

Masih menurut warga, masing-masing tingkat air terjun itu mempunyai nama sendiri-sendiri. Onje adalah nama air terjun yang berada di tingkat paling atas. 

Onje
Kemudian di tingkat kedua, ada sendiri namanya tapi saya lupa. hehehehehe...
Yang kedua (yang pertama kali saya datangi)
Dan yang ketiga, yang hanya saya tilik ketinggiannya dari atas, dari area air terjun kedua. Kalo tidak salah namanya curug Growoh, curug Grawah, curug Growong, ato apalah gitu... dan di air terjun ketiga ini, masih menurut cerita warga tadi, terdapat goa-nya yang dinamakan Goa Susu (mendengar kalau ada goa di air terjun ketiga, ada semacam perasaan kecewa karena tidak bisa mendatangi air terjun ketiga tadi). Ya sudahlah... semoga lain waktu Tuhan memberi kesempatan saya untuk datang ke Onje lagi dan menyambangi ketiga air terjunnya.

Begitulah petualangan saya kali ini menyusur belantara Lereng Gunung Ungaran bagian Temanggung. Bagi teman-teman yang menjadi tertarik karena postingan saya ini (eheeemmmm.. hihihihi), boleh datang, sendiri atau ramai-ramai, namun pastikan jangan merusak dan mengotori lingkungan dengan sampah maupun perbuatan tercela lainnya. Buatlah terkenal alam Indonesia, namun tetaplah jaga kelestarian dan keindahannya. Salam Petualang!! Salam Melogic!! 


Sabtu, 01 April 2017

Mongkrong, Kesejukan Air Terjun di Tengah Alam Lereng Merbabu

Hai.. hai. Nggak terasa sudah setahun berlalu sejak terakhir kali posting. Benar-benar blogger yang nggak konsisten. hehehehe... Padahal setahun sejak terakhir posting, saya sudah cukup banyak ngetrip, berpetualang hunting banyu nibo a.k.a air terjun.

Well... lupakan ketidakkonsistenan saya. Kali ini saya akan mengekspose sebuah air terjun yang belum banyak dikenal orang, jangankan orang luar negeri, orang dalam negeri, bahkan deket-deket daerah situ pun belum tahu. Oke, biar pada tahu dan semakin terkenal ini tempat, kita mulai saja ceritanya. Let's go...

Air terjun Mongkrong. Sebenarnya belum ada namanya sih air terjun ini, cuma karena si air terjun ini berada di kawasan Desa Mongkrong, dan biar mudah orang-orang nanti mencarinya, maka saya namai saja si banyu nibo ini "Air Terjun Mongkrong". Nggak buruk juga kan?!?

Untuk mencapainya tidak terlalu sulit. Dari jalan raya Semarang-Solo, berkendara sampai ke Desa Klero, Kecamatan Tengaran. Dari arah Semarang, masuk gang pertama sesudah polsek Klero. Dari arah Solo, bisa lewat gang PT Nesia atau bisa juga gang sebelum Polsek Klero (tapi saya tidak tahu rutenya kalau lewat PT Nesia.. ehhehe.. maklum saya lewatnya yang deket Polsek). Setelah masuk gang dekat Polsek Klero, perjalanan dilanjutkan menuju Desa Mongkrong, sebuah desa paling atas dari jalan yang saya lalui. Sebenarnya tinggal lurus terus saja sejak masuk gang tadi, sampai pentok di Desa Mongkrong, cuma karena ini baru pertama kalinya, jadinya saya berulang kali bertanya pada penduduk. Setelah sekian lama dan sekian penduduk saya tanya, akhirnya sampailah saya dan adik saya ke Desa Mongkrong, yang ternyata sudah masuk di kawasan Kecamatan Ampel, Boyolali. Sebuah pemandangan dari lereng gunung Merbabu yang berbeda dari biasanya, karena biasanya kami melihat pemandangan dari area Kopeng dan Getasan. Sayang, sedikit berkabut di bawah, jadi kami tidak bisa melihat daerah Salatiga dan Boyolali dengan jelas. Oke.. itu tak jadi soal, kita lanjutkan perjalanan mencari air terjun tadi...

Setelah sampai di pinggir Desa Mongkrong, kami bertanya soal keberadaan air terjun ini. Pertama kali saya bertanya keberadaan curug di kawasan Mongkrong ini. Namun raut wajah bingung ditampakkan oleh beberapa penduduk yang saya tanyai. Setelah saya mengganti kata "curug" dengan air terjun, barulah mereka "ngeh" dan menunjukkan keberadaan air terjun tersebut yang mereka kenal dengan nama "pancuran" (padahal dalam benak saya, pancuran itu adalah air yang mengalir melalui sebatang bambu atau sejenisnya). Jadi kesimpulan saya, jangan bertanya keberadaan curug kepada mereka, tapi tanyalah keberadaan air terjun, syukur-syukur pancuran, karena mereka tidak kenal curug (yang sebenarnya adalah kata lain dari air terjun juga sih).

Beberapa kali bertanya, sampailah kami di rumah paling atas dari kawasan Desa Mongkrong. Di sini kami bertanya lagi tentang keberadaan air terjun tersebut. Sang pemilik rumah menunjukkan arah ke air terjun tersebut, namun sayang tidak begitu jelas rutenya. hadeeeehhh... Setelah menitipkan motor pada pemilik rumah tempat kami bertanya (karena memang belum ada lahan parkir komersil), kami mulai menyusur jalanan berbatu.

Menurut penduduk tadi, jalannya lewat samping tower. Oke, kami mulai berjalan dari parkiran menuju tower yang berjarak kira-kira 50 meter (kalo lurus sih deket, tapi ini nanjak, jadi kesannya agak berat). Kami berjalan sampai tower dan mulai bingung karena ada dua jalan di samping tower. Satu agak lurus dan jalannya agak lebar, dan satu daripada jalan, lebih mirip bekas aliran air. Karena tidak yakin dengan jalan yang mirip aliran air sempit, kami memutuskan melanjutkan perjalanan di jalan yang lebar. Namun, sekitar 300 meter berjalan, kami sangsi dengan jalan yang kami lalui. Setelah menimbang-nimbang dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, maka kami memutuskan kembali ke arah tower dan mencoba peruntungan dengan melewati jalan yang mirip bekas aliran air. Dan sepertinya memang ini jalannya... Jadi, karena belum ada penunjuk arah dan tidak jelasnya arahan dari warga kampung, saya sedikit beri penunjuk jalan deh... Dari arah kampung, lewatlah jalan di samping tower yang dekat dengan bambu-bambu sendani. Dan jangan merusak bambu ini, karena ini sengaja ditanam warga untuk bahan kerajinan.

Lewat jalan yang berada di antara bambu dan tower ya.
Setelah melewati tower, kami meneruskan perjalanan mencari si air terjun ini. Karena memang masih belum terkenal, maka wajar jika aksesnya agak susah, penunjuk jalan juga belum ada, dan pengunjung terbatas. Melewati tepi ladang penduduk, masih tenang. Kemudian, melewati jalan setapak gunung di tengah semak-semak dan hutan pinus, saya mulai was-was. Benarkah ini jalannya? Kenapa tak satupun orang kami temui? Tapi jiwa petualang saya (eheemmm) membuat saya pantang untuk menyerah dan berbalik arah untuk pulang. Meski seperti tak ada harapan, kami tetap berjalan. Sing penting yakin!!!

Setelah agak lama berjalan, akhirnya kami bertemu 3 orang pemuda-pemudi yang berjalan dari atas. Saat kami tanyai, ternyata mereka dari pancuran. Betapa senangnya kami bertemu mereka, ternyata ada manusia lain selain kami yang datang, dan bahwa ternyata kami menempuh jalan yang benar. ehehhe.. Setelah agak lama kami berjalan, kami kembali bertemu serombongan anak-anak yang jika dilihat dari pakaiannya yang basah, sepertinya mereka juga habis dari air terjun. Setelah bertanya-tanya sedikit, kami kembali melanjutkan perjalanan. Benar-benar jalan gunung dan masih belum banyak tersentuh tangan manusia, karena jalan yang kami lalui merupakan jalan setapak dimana kiri kanannya adalah semak yang lebih tinggi dari kami. Untung saja kami tak bertemu hewan liar selama perjalanan, atau bahkan hewan jadi-jadian.. hihihihi...

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya sampailah kami di tempat yang dituju....


Berada di ketinggian entah berapa mdpl, suasana masih asri, sejuk, segeeerrrr banget (ya iyalah, namanya juga lereng gunung), cuman sayang agak berkabut, jadi gak bisa lihat puncak Merbabu yang pastinya udah keliatan deket banget. But, it's OK. Tujuan utamanya kan air terjun.

Ketinggian air terjun ini kira-kira 5-8 meter. Nggak terlalu tinggi sih. Debit airnya tidak begitu besar, jadi bisa leluasa mendekati titik jatuhnya air. Di bagian bawah ada semacam tampungan air, sedalam lutut orang dewasa, tapi tidak terlalu lebar, dan di dasarnya berbatu-batu. Tenang, tidak tajam batunya, hanya sedikit licin, jadi harus hati-hati kalo mau "nyemplung" ya. Airnya bening sebening wajahmu... iyaaa.. kamu... hahahah.


Tak banyak memang pengunjung di tempat ini, karena memang belum begitu terekspose. Kami hanya bertemu 4 orang gadis SMP yang asyik bersenda gurau layaknya bidadari yang sedang bermain air di cerita Jaka Tarub, dan dua orang maz-maz pencari rumput yang tengah beristirahat. Dan ternyata, menurut informasi maz-maz tadi, di bagian atasnya masih ada air terjun lagi. Berbekal informasi tersebut, kami memutuskan mencoba menengok air terjun yang lebih atas. Dan, inilah air terjun yang berada tepat di atas air terjun pertama yang kami temui...



Kata maznya tempatnya lebih bagus dari yang pertama tadi. Tapi begitu melihatnya, saya pikir masih lebih bagus yang pertama tadi. Tak lama kami berada di air terjun atas ini, karena kabut tebal mulai naik, dan kami takut kehilangan jalan. Maklum, kami hanya dua orang gadis tanpa pendamping, sementara semua pengunjung termasuk maz pencari rumput tadi sudah duluan turun. Kami bergegas turun, dengan sedikit berlari karena takut kabut makin tebal dan membuat kami tak bisa menemukan jalan pulang. Beruntung setelah agak lama berjalan turun, kami kembali bertemu maz-maz pencari rumput tadi yang tengah beristirahat. Kami konfirmasi soal keindahan air terjun kedua tadi, dan ternyata yang dimaksud maznya lebih indah dari yang pertama adalah satu lagi air terjun yang berada lebih di atas. Jadi 2 tingkat dari air terjun pertama yang kami datangi.

Sepertinya air terjun itu ada 4 tingkat, karena di bawah air terjun pertama yang kami datangi, masih ada air terjun. Namun sayang, kami tak menemukan jalan menuju ke sana. Berbekal informasi dari maz-maz tadi soal air terjun yang paling atas, maka saya menetapkan hati bahwa suatu saat saya akan kembali ke sini untuk menuju air terjun yang paling atas yang katanya paling bagus tadi, tentunya dengan jam datang yang lebih pagi dan di cuaca yang lebih baik agar tidak terkepung kabut. Setelah berpamitan dengan para maz tadi, kami pun berjalan pulang.

Oh iya, sedikit cerita soal ketersesatan kami di awal, ketika kami tersesat, kami malah menemukan semacam kolam kecil di bawah rimbunan pohon bambu. Agaknya ini semacam kolam tampungan air terjun dengan debit air sangat kecil. Namun kolamnya jeerrrrniiiiiiiiiihhh banget. Bahkan ketika kaki kami masuk di air, terlihat seperti nggak berada di dalam air karena saking jernihnya. Tapi mungkin ini hanya aliran air biasa karena tidak terlihat bekas warga memanfaatkan air tersebut. Tapi bolehlah buat sejenak melepas lelah saat tersesat mencari air terjun...


Oke, demikian kisah perjalanan PPC (Para Petualang Cantik) kali ini. Tetap jaga kelestarian, kebersihan, keindahan alam yang kalian datangi ya... Jangan nyampah sembarangan. Jangan corat-coret sembarangan.Biar keindahan alam kita tetap terjaga. Salam Petualang!! Salam MTMA!! Salam melogic!!




Kamis, 10 Maret 2016

Eksotika Grojogan Sewu, Tawangmangu

Tawangmangu, kecamatan yang terletak di kaki Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, menyimpan beragam destinasi wisata yang layak mendapat perhatian bagi para traveler. Ada candi-candi peninggalan kerajaan dahulu (saya nggak tau peninggalan kerajaan mana, soalnya bukan itu yang jadi destinasi saya ke Tawangmangu), agrowisata di perkebunan sayur dan buah, Taman Bale Kambang yang terkenal dengan miniatur dunia (sekilas terlihat ada miniatur Merlion, landmark Singapura, nggak tau lainnya apa lagi ), pemandangan alam yang luar biasa berupa penampakan puncak Gunung Lawu, bukit-bikit di sekeliling gunung yang ditumbuhi pepohonan pinus, dan ladang-ladang penduduk yang penuh dengan sayuran, dan tentu saja yang selalu ada di setiap gunung, air terjun. Ada beberapa air terjun yang mengalir dari Gunung Lawu, namun yang paling terkenal, tentu saja Grojogan Sewu. 

Setelah dua kali gagal menyambangi Tawangmangu yang terkenal dengan Grojogan Sewu-nya itu, akhirnya tanggal merah kali ini jadi juga mengunjungi air terjun yang namanya lumayan melegenda itu. Perjalanan saya diawali dengan menunggu kedatangan partner saya dari Kota Semarang, sebut saja namanya Mas Agus. Pukul 8.30, si Mas nyampe juga di Salatiga, dan kamipun langsung memacu motor menuju Karanganyar.

Sampai di Pasar Kleco, Surakarta, kami mampir dulu ke tempat saudara Mas Agus untuk berganti motor. Soalnya, menurut kabar dari saudara Mas Agus, motor matic agak susah nanjak ke Tawangmangu. Naahh.. ini motor saya matic, jadi harus pinjem motor bebek saudara maz Agus. Tapi tenang saja bagi yang mau berkendara memakai matic, sebenarnya tetep kuat kok nanjak sampai Tawangmangu, tergantung kelincahan yang bawa motor aja. 
Pukul 11.00 kami berangkat dari Kleco, dan sampai Tawangmangu pukul 12.15 .. Terhitung lumayan lama sih perjalanan kami, soalnya kami jalan pelan sambil menikmati perjalanan sih. Dan memang, memasuki kawasan Tawangmangu, kami disuguhi pemandangan indah yang menakjubkan. Deretan pegunungan di kaki Gunung Lawu di kejauhan tampak samar, karena cuaca mendung berkabut. Namun, hamparan ladang penduduk sangat memanjakan mata. Petak-petak ladang dengan beragam jenis sayuran berwarna hiaju berpadu dengan petak tanpa tanaman yang berwarna coklat, sangat mengagumkan.
Petak ladang penduduk yang tertata rapi meski lahannya curam
Mendekati lokasi Grojogan Sewu, kami disambut hujan yang cukup deras, padahal dari Salatiga matahari panas menyengat. Namun ternyata hujan tak berlangsung lama. Begitu sampai di lokasi parkir grojogan, hujan sudah reda (horeeee...). Setelah memarkirkan motor, kamipun segera berjalan menuju lokasi grojogan. Ada beberapa lokasi gang masuk ke arah grojogan, setidaknya saya melihat ada tiga gang. Kami melewati gang pertama dan kedua, dan memilih masuk dari gang yang ketiga. Gang ketiga ini ternyata satu lokasi dengan dengan Taman Wisata Bale Kambang yang terkenal dengan miniatur dunianya. 
Perjalanan dari lokasi pasrkir Taman Wisata Bale Kambang menuju loket masuk gorjogan mungkin sekitar 300-400 meter. Dan sepanjang perjalanan banyak toko souvenir berjajar. Sampai di pelataran loket masuk grojogan, ternyata ada tempat parkir juga. Nahhh loohh.. mungkin ini yang masuk dari gang pertama dan kedua kali yaahh .. aaahhhh.. betenya... kalo bisa parkir di depan pintu masuk, kenapa harus jalan dulu coba?!? Yaaahhh.. maklum lah, baru pertama kali (sambil manyun...hihihi) 

HTM ke grojogan bagi turis lokal adalah 15.000 rupiah (mahal juga pikirku.. karena dari beberapa air terjun yang saya kunjungi di sekitaran Salatiga, HTM-nya rata-rata 3-4 ribu per orang) , dan bagi turis asing 165.000 (yaaaahhh.. jauh lebih murah lah kalo dibanding harga buat wisman.. hhahahahahha.. -menghibur diri-) . Dari loket masuk, kita harus menuruni anak tangga yang terbuat dari batu. Jalan ke air terjun di sini sudah di tata rapi, mungkin karena saking fenomenalnya air terjun ini, sampai fasilitasnya dibuat sebagus mungkin agar pengunjung nyaman. Beda dengan air terjun yang baru saja dikenal dimana fasilitas dan akses jalannya masih belum maksimal, malah masih ada yang berupa jalan setapak tanah doank. 

Jalan menuju air terjun, udah bagus kan?!?


Nggak terlalu jauh sih lokasi air terjun dari loket masuk. Kalo jalannya rata, mungkin hanya sekitar 300-400 meter. Namun karena jalannya menurun dan berputar-putar, jadi rasanya jadi lumayan jauh. Mulai dari pelatar parkir di depan loket masuk grojogan sampai area grojogan, banyak sekali monyet-monyet berkeliaran. Maklum, tempat ini merupakan kawasan konservasi Monyet Ekor Panjang. Namun, meski monyet liar, mereka nggak galak kok sepanjang kita mematuhi aturan yang berlaku di tempat itu. Beberapa diantaranya adalah tidak berjalan di area grojogan sambil makan atau minum sesuatu, karena bisa-bisa nanti direbut sama monyetnya. Selain  itu, kalau kita membawa makanan dan minuman, sebaiknya ditempatkan dalam wadah plastik. Soalnya begitu kita merogoh sesuatu, kita akan langsung didekati si monyet, dikira mau ngeluarin makanan, padahal mau ambil kamera... Lagian, nggak mau kan kalo makanan ato minuman yang mau kita nikmatin malah direbut monyet.. 
Monyet Ekor Panjang, jinak-jinak  mereka :D

Setelah berhasil menuruni anak tangga, ada tanah lapang yang cukup luas. Di sini para pengunjung bisa menggelar tikar untuk bersantai melepas lelah dan menikmati udara hutan yang sejuk. Tapi saia memilih melanjutkan perjalanan menuju air terjun yang tinggal beberapa puluh meter lagi. Dan begitu sampai di bawah air terjun, satu kata yang terlintas di pikiran saia "waoooooooooooowwwwwww" . Benar-benar luar biasa.

Air terjun setinggi 81 meter dengan debit air yang sangat besaarrr membuat saia takjub dan kehilangan kata-kata. Saia jadi teringat air terjun-air terjun di sekitaran Salatiga yang belum lama ini saia sambangi, mereka tak ada apa-apanya dibanding Grojogan Sewu ini. Kalo diibaratkan cowok, air terjun-air terjun di sekitaran Salatiga itu macam Al Gazhali, Aliando Syarif, Shahrul Gunawan, Raffi Ahmad, bahkan mungkin ada yang macam Saiful Jamil.. hehehhe.. tapi si Grojogan Sewu ini macam Vin Diesel yang gak cuma tamvan dan tinggi, tapi juga berotot kekar, gagah, macho abis lah pokoknya.. hahahahhahaha...

Ibaratnya si Grojogan Sewu yang gede itu sebagai
Vin Diesel dan yang kecil ibarat Daus Mini
Ada dua alternatif untuk menikmati si Grojogan Sewu ini. Bisa turun langsung ke area aliran air terjun, atau bisa juga hanya melihat air terjun dari Jembatan yang letaknya di atas sungai di depan air terjunnya. Kalo pas hujan sih, memang pengunjung diharuskan untuk menikmati keindahan air terjun dari atas jembatan saja, soalnya kalo turun ke dekat air terjun, dikhawatirkan nanti hanyut terbawa arus, mengingat debit air terjun pas nggak hujan aja udah besar, apalagi pas hujan.. (bisa bayangin sendiri kan.. hehehe) . Jembatan aja bisa sampe roboh kok. Ceritanya ada dua jembatan di depan air terjun ini, yang satu roboh kena banjir, yang satu seperti di ganbar bawah ini.

Jembatan di depan si Macho Grojogan Sewu

Si Macho dari atas jembatan


Kalo pas gak hujan, pengunjung diperbolehkan turun ke area bawah air terjun. Cuman main-main, selpi-selpi ria di sekitaran aliran air sih, gak sampe bener-bener tepat di bawah air terjun. Bayangin aja berdiri di bawah guyuran air segede gitu.. Mana tahaaaaaannnn kan.. hehehehe.. cukup main di sekitarannya aja udah fun kok. Kena cipratan airnya aja udah seneng banget. Bagi yang mau foto-foto di deket air terjun ini, saran saia bawa pelindung kamera yang tahan air. Soalnya cipratan air yang kebawa angin jadi kemana-mana. Saia aja basah kuyup cuman sebentar di sono, padahal jaraknya sekitar 20 meteran dari pusat jatohnya air. Nah, kalo kamera yang ga tahan air kena hembusan air itu, apa nggak meratap ntar kitanya.. ohohohohoho...

Selpi-nya jaga jarak aja dah, biar aman

Puas main di air terjun, pengunjung bisa beristirahat di area lapang di dekat air terjun. Sekedar melepas lelah, atau bisa juga pergi ke kolam renang yang masih satu kompleks dengan air terjun. Tapi saia dan partner saia memilih untuk pulang saja, karena rencananya kami mau melanjutkan perjalanan ke Telaga Sarangan. Perjalan pulang dari air terjun memang harus dilalui dengan berjalan naik, karena datangnya tadi kita turun. Sesekali kami harus berhenti karena mas Agus yang tampak kelelahan. Naik-naik ke puncak bukit deh... (gini nih yang paling males kalo ke air terjun.. jalan pulangnya naik).

Setelah beberapa kali berhenti melepas lelah, kami akhirnya sampai di pintu keluar. Sebelum pintu keluar, ada gerbang yang menyatakan kalau kami telah melewati 1250 anak tangga dalam perjalanan masuk dan keluar area air terjun tersebut. Saia sendiri kaget, gak nyangka kalo ternyata sebanyak itu anak tangga yang telah kami lewati, pantesan capek banget rasanya.. hahahahha..

Yeeaaayyy..!!!

Keluar dari gerbang, kami menyusuri jalanan menuju area parkir kami di Taman Bale Kambang. Bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke Telaga Sarangan di kawasan Kabupaten Magetan, yang berjarak sekitar 45 menit berkenderaan dari Grojogan Sewu ini.  

Salah satu destinasi air terjun yang saia idam-idamkan untuk dikunjungi karena cerita tentang keindahan dan keeksotisannya dari orangtua saia yang pernah ke sana semasa muda, akhirnya berhasil saia sambangi juga. Semoga suatu saat nanti saia bisa kembali ke sini dengan seseorang yang saia harap menjadi pasangan hidup saia. ehehehehehe... see u next advanture... Salam Bocah Petualang :D


Rabu, 12 Juni 2013

apa arti semua ini ?

apa arti semua ini ?

aku bener2 ga ngerti apa arti semua ini. apa arti aku ada. apa arti aku hidup. apa arti dari semua yang aku lakukan.
apa yang aku lakukan, seolah hanya mengalir tanpa makna yang berarti. pagi hari, bangun tidur. berangkat bantu jualan. siang hari, selesailah jualan. pulang ke rumah. nonton tiphi. malam, tidur. tanpa rasa. hambar. tak bermakna.

aku ingin sekali keluar dari keadaan tanpa makna yang kosong ini. merasakan tawa, canda, sukacita, harapan, impian. mungkin karena terlalu lama berada dalam keadaan sedih, dan harapan yang tak terjawab, jadi berada dalam ruangan keputus asaan, lelah, tak berani berharap, apalagi merajut mimpi masa depan. semua kosong. tak bermakna. tak ada passion. tak ada gairah. tak ada semangat hidup.

ada senyum.
namun apalah artinya senyum bila hanya di wajah. hanya untuk formalitas. untuk menyenangkan orang-orang yang ditemui. agar tak dianggap "orang tak ramah" atau "pembenci orang lain". mungkin sekali dua kali, mungkin bagi orang yang belum mengenal dalam-dalam, senyum seperti itu cukup untuk menunjukan keramahan yang dimiliki. tanpa mereka sadari, senyum itu mengandung tangisan, mengandung duka yang tak terucap.
#mereka tau apa tentangku sehingga seenaknya menghakimi seperti itu.!!!